Being Excellent with Islamic Values

Contact Info

Jl. Sunan Ampel No.7, Ngronggo, Kec. Kota, Kota Kediri, Jawa Timur 64127
[email protected]
0354 - 689282

Follow Us

Membaca Suara Kritis Tentang Pengangkatan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Oleh:
Siska Intan Aulia
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara

Sejarah bangsa selalu berdetak di antara dua napas ingatan dan pengampunan. Di sanalah kita kini berdiri pada persimpangan antara menghormati jasa dan mengakui luka. Ketika pemerintah mengumumkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, riuh suara muncul dari segala penjuru. Ada yang menunduk dengan rasa hormat, mengingat masa stabilitas dan pembangunan di bawah pemerintahannya. Namun tak sedikit pula yang menatap getir, mengingat tirani, korupsi, dan darah yang tertinggal di lorong-lorong sejarah. Di sinilah dilema moral dan hukum tata negara itu berdenyut sebuah ujian apakah negara kita benar-benar menegakkan keadilan atau sekadar menulis ulang ingatan kolektif dengan tinta kekuasaan.


Gelar pahlawan nasional bukan sekadar penghargaan simbolik. Ia adalah deklarasi moral dari sebuah negara tentang siapa yang dianggap berjasa, siapa yang pantas dijadikan teladan. Maka, ketika nama Soeharto dimahkotai dengan gelar yang begitu agung, publik bertanya-tanya, apakah negara telah berdamai dengan masa lalu, atau sekadar menguburnya di balik bendera penghormatan? Dalam hukum tata negara, tindakan seperti ini adalah cermin arah ideologis bangsa. Negara berbicara kepada rakyatnya melalui simbol, betapapun diam, menyimpan gema politik yang panjang.

 

Keadilan sebagai Moral Hukum

 

Dalam nalar hukum, keputusan negara selalu dapat dijelaskan oleh prosedur. Tapi dalam hati nurani publik, yang diuji bukan prosedur, melainkan nilai. Kita boleh saja berargumen bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto telah memenuhi syarat administratif sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang tanda kehormatan. Namun adakah hukum tanpa moral? Adakah keadilan yang bisa hidup tanpa empati terhadap korban? Di sinilah hukum tata negara bersinggungan dengan etika hukum Islam yang menempatkan ‘adl keadilan sebagai inti dari segala perintah.


Keadilan, dalam makna yang paling luhur, tidak hanya tentang menghitung jasa, tetapi juga menimbang luka. Soeharto, tanpa ragu, telah berjasa membangun negeri ini. Ia membawa stabilitas setelah masa penuh gejolak, membangun infrastruktur, memperkuat ekonomi, dan memberi arah bagi birokrasi modern. Namun, bayang yang menyertai jasanya tak bisa dihapus. Pembungkaman kebebasan, penahanan tanpa pengadilan, pembantaian terhadap mereka yang dituduh komunis, dan ketimpangan yang tumbuh dari korupsi sistemik. Mengabaikan itu semua sama saja dengan menghapus setengah wajah bangsa bagian yang gelap, tapi nyata.


Dalam ajaran Islam, pemimpin adalah amanah. Kekuasaan bukan hak, melainkan beban yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Maka, ketika seorang pemimpin diberi gelar pahlawan, seharusnya pertanggungjawaban moralnya telah selesai, atau setidaknya dipertimbangkan secara utuh. Memberi gelar tanpa mengakui kesalahan sama saja seperti menulis ayat kebenaran di atas batu yang masih berlumur darah sejarah. Sosiologi hukum mengajarkan bahwa hukum tidak hidup dalam teks, melainkan dalam masyarakat. Artinya, setiap keputusan negara harus membaca denyut sosial yang mengiringinya. Jika rakyat masih merasa terlukai, maka hukum kehilangan makna sosialnya. Dalam konteks ini, pemberian gelar kepada Soeharto terasa seperti keputusan yang melompati rasa terlalu cepat, terlalu sepi dari empati. Apalagi ketika suara para korban Orde Baru masih belum mendapat ruang yang layak dalam wacana kenegaraan.


Ironisnya, sebagian elite politik justru menyambut keputusan ini dengan narasi yang menenangkan bahwa “jasa Soeharto lebih besar dari pada kesalahannya.” Kalimat itu terdengar manis, tapi berbahaya. Ia menormalisasi logika bahwa pembangunan bisa menebus pelanggaran, bahwa ekonomi dapat menutup mata atas pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, dalam konsep keadilan Islam maupun hukum modern, kesalahan moral tak dapat dibayar dengan infrastruktur, apalagi dengan statistik pertumbuhan. Kejahatan terhadap kebebasan dan martabat manusia tidak boleh diukur dengan angka jalan tol atau bendungan.


Generasi muda hari ini tumbuh di tengah ingatan yang berlapis. Mereka mengenal Soeharto sebagai nama di buku pelajaran, bukan sebagai bayangan yang menakutkan. Tapi di ruang digital, sejarah berbicara lagi tentang penculikan aktivis, pembungkaman pers, dan kekayaan keluarga yang menumpuk. Bagi mereka, pemberian gelar pahlawan ini seperti sebuah pengkhianatan terhadap pelajaran reformasi bahwa tidak ada kekuasaan yang boleh disucikan, dan bahwa demokrasi lahir dari luka yang dulu diciptakan oleh rezim yang sama.


Namun kita juga harus jujur bangsa ini memiliki kecenderungan untuk cepat melupakan. Kita terlalu sering menulis ulang masa lalu agar terasa nyaman. Hukum tata negara sering kali dijadikan perisai untuk melindungi keputusan politik yang sebetulnya lebih sarat kepentingan daripada keadilan. Gelar pahlawan untuk Soeharto bisa dibaca sebagai upaya politik simbolik bukan sekadar pengakuan sejarah, tetapi juga usaha merekonsiliasi citra Orde Baru dengan wajah kekuasaan masa kini. Dengan kata lain, negara sedang menegosiasikan ulang legitimasi masa lalunya di hadapan generasi baru yang mulai kritis.


Padahal, bangsa yang ingin maju harus berani menatap masa lalunya tanpa topeng. Mengakui dosa sejarah bukan berarti menghapus jasa, melainkan menempatkan keduanya dalam keseimbangan moral yang sehat. Seperti kata pepatah Arab, man la yatakabbal al-haqq la yuhibb al-‘adl siapa yang menolak kebenaran, tak mungkin mencintai keadilan. Dalam konteks ini, negara yang berani berkata “ya, Soeharto berjasa, tapi ia juga bersalah” adalah negara yang matang. Sebaliknya, negara yang hanya memuliakan tanpa mengakui, sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri.


Esensi Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto


Pemberian gelar ini juga menyingkap kegagalan kita memahami makna kepahlawanan. Pahlawan bukan hanya yang membangun, tetapi juga yang berani menanggung akibat moral dari perbuatannya. Dalam sejarah Islam, Umar bin Khattab disebut adil bukan karena tak pernah salah, melainkan karena berani mengakui kesalahannya di hadapan rakyat. Di sinilah hukum Islam menawarkan pelajaran bahwa keadilan bukan kesempurnaan, melainkan keberanian untuk bertanggung jawab.


Maka yang sesungguhnya kita butuhkan bukan sekadar pahlawan baru, melainkan cara baru untuk memahami kepahlawanan. Mungkin kita harus berhenti mencari sosok yang sempurna, dan mulai menghormati mereka yang berani jujur. Pahlawan sejati mungkin bukan presiden atau jenderal, melainkan rakyat biasa yang menjaga nurani di tengah tekanan, yang berani bersuara ketika yang lain diam. Jika negara terlalu mudah memberi gelar kepada mereka yang punya kuasa, maka pahlawan sejati akan kembali menjadi hantu tidak dikenal, tapi terus menghidupi bangsa.


Kita juga perlu mengingat bahwa hukum bukan ruang steril dari nilai sosial. Ia lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat. Maka jika keputusan hukum menimbulkan kegelisahan publik yang luas, itu berarti ada sesuatu yang belum selesai. Dalam hal ini, hukum tata negara kita perlu belajar dari prinsip istislah dalam fikih Islam bahwa segala kebijakan harus mengandung kemaslahatan, bukan sekadar kepatuhan formal. Jika pemberian gelar menimbulkan luka baru, maka kebijakan itu gagal memenuhi esensi keadilan.


Namun semua ini bukan sekadar soal setuju atau tidak setuju terhadap Soeharto. Ini tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, belajar berdamai dengan masa lalu tanpa kehilangan kesadaran moral. Negara harus berani membuka ruang dialog yang jujur ruang di mana korban Orde Baru bisa bersuara tanpa takut, ruang di mana generasi muda bisa bertanya tanpa dicap kurang ajar, dan ruang di mana hukum tak lagi berfungsi sebagai topeng bagi politik.


Akhirnya, mungkin kita harus menerima kenyataan pahit bahwa sejarah Indonesia adalah kisah tentang ingatan yang selalu diperebutkan. Tapi justru di situlah makna perjuangan baru lahir. Sebab bangsa yang sehat bukan bangsa tanpa luka, melainkan bangsa yang berani menatap lukanya tanpa menutup mata. Namun demikian, bagaimanapun penetapan gelar pahlawan nasional kepada presiden kedua, Soeharto, telah melalui proses diskusi panjang dan pertimbangan yang kompleks. Pro dan kontra sebagai dinamika pemikiran kritis masyarakat yang wajar. Pemikiran kritis yang muncul juga memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sehingga menjadi lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan pandangan.

 

 

 

Berita Lainnya