Oleh: Angellina Faradilla Eka Putri
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam
Di tengah kemajuan teknologi serta derasnya arus digitalisasi, banyak sekali perubahan besar pada aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai suatu hal yang sakral yang harus diiringi oleh proses administrasi resmi di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Akan tetapi masih banyak praktik – praktik pernikahan yang tidak tercatat, atau yang dikenal dengan pernikahan siri.
Bayangkan dua insan yang sama sama saling mencintai, ingin sesegera mungkin menghalalkan hubungan mereka, namun terhalang oleh persoalan administratif, mungkin usia belum cukup, atau bahkan tidak punya biaya untuk melangsungkan pernikahan resmi.
Apalagi di era sekarang yang sudah masuk pada era digital, semua terasa sangat amat mudah. Berkomunikasi tidak perlu ribet, cukup dengan via chat atau dengan panggilan video, saksi, serta akad pun bisa berlangsung cepat tanpa hambatan. Praktis, mudah dan tetap dianggap sah. Fenomena ini menarik, karena menunjukkan bagaimana agama dan teknologi saling beriringan. Namun di satu sisi, praktik pernikahan siri menegaskan bahwa masyarakat masih menjunjung tinggi nilai nilai religius. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa akan menghilangkan makna sakral dari pernikahan.
Sederhananya, pernikahan siri pada umumnya adalah pernikahan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak legal secara hukum negara. Pernikahan siri ini tidak dicatat resmi oleh negara, di mata hukum Indonesia, pernikahan baru bisa dianggap sah apabila sudah tercatat di lembaga negara, sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya, pernikahan siri memang sah secara agama, akan tetapi di hadapan negara pernikahan siri tidak memiliki kekuatan hukum.
Bagi sebagian orang, pernikahan siri dianggap sebagai salah satu bentuk dari kebebasan pribadi. Setiap orang merasa memiliki hak atas cara dan bentuk hubungan mereka, tanpa harus terbebani dengan ikatan formalitas hukum. Ada yang memilih pernikahan siri karena ingin menjaga privasi—terutama bagi seorang figur publik yang takut sorotan media. Pernikahan siri kerap dianggap sebagai solusi praktis untuk melegalkan hubungan secara agama tanpa harus menunggu panjangnya proses hukum.
Masalah utama pada pernikahan siri sebenarnya terletak pada ketiadaan perlindungan hukum. Karena tidak ada proses administratif pernikahan pada lembaga negara, pernikahan ini menjadi tidak diakui.. Artinya, istri serta anak hasil dari pernikahan siri tidak bias menuntut hak haknya karna tidak memiliki kekuatan di mata hukum, seperti hak waris, nafkah, bahkan status hukum anak, nah dari sinilah terlihat jelas benturan antara kebebasan pribadi dan kepastian hukum. Kebebasan dalam memilih cara menikah memanglah hak setiap individu, akan tetapi dalam masyarakat yang diatur oleh hukum, setiap keputusan pasti membawa konsekuensi. Kebebasan tanpa adanya perlindungan hukum bisa berujung pada kerentanan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah pernikahan siri perlu dihapuskan? Mungkin tidak sesederhana itu. Negara seharusnya memberikan pemahaman hukum yang mudah dipahami dan di tangkap oleh masyarakat, terutama pada generasi muda. Namun sisi lain, masyarakat juga perlu didorong untuk melihat bahwa pernikahan bukan hanya sebagai hubungan spiritual, tetapi juga sebagai perlindungan atas hak dan kewajiban. Teknologi digital juga seharusnya bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk memperkuat sistem pencatatan nikah, bukan justru menjadi alat untuk menghindarinya.
Salah satu cara untuk memberikan pemahaman akan pentingnya kegiatan administratif dalam pernikahan adalah dengan pendekatan yang lebih inklusif pada masyarakat, dengan ini kita bisa membangun kesadaran masyarakat bahwa pencatatan nikah bukan hanya sekadar urusan administratif, tetapi juga bentuk perlindungan serta memastikan hak dan keadilan bagi semua pihak. Bayangkan jika proses pencatatan nikah bisa dilakukan secara cepat, transparan, dan mudah diakses melalui sistem digital—tidak hanya di kota besar, tetapi juga hingga ke pelosok desa. Dengan kemudahan itu, alasan “ribet” atau “biaya mahal” yang sering dijadikan pembenaran untuk menikah siri perlahan bisa hilang.
Pernikahan siri tidak cukup diselesaikan hanya dengan larangan saja, melainkan dengan edukasi yang berpihak pada masyarakat. Negara perlu hadir bukan hanya untuk menghakimi, tetapi untuk memberi kepastian setiap warga—terutama perempuan dan anak-anak—mendapat perlindungan yang adil. Sebab pada akhirnya, pernikahan bukan hanya urusan hati dan spiritual, tetapi juga tentang tanggung jawab, keadilan, dan masa depan bersama.





