Lukman Hakim
Wakil Ketua PBAK UIN Syekh Wasil Kediri
Sidang Senat Terbuka Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) menandai dimulainya masa orientasi mahasiswa baru UIN Syekh Wasil angkatan 2025. Secara simbolis disusul dengan penyematan jas almamater, penyerahan buku karya dosen dan bibit tanaman oleh Ketua Senat, Prof. Dr. H. Nur Ahid, M.Ag, Rektor, Prof. Dr. H. Wahidul Anam, M.Ag, dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. H. M. Dimyati Huda, M.Ag pada Supeat Suhada mahasiswa baru asal Kamboja, Marwah Aulia dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Muhammad Anwar Baladi dengan prestasi Hafidz Quran 30 Juz dan Tarissa Mar'atul Latifah menyelesaikan hafalan 1000 bait nadzam Alfiyah.
PBAK di setiap perguruan tinggi menjadi pintu masuk mahasiswa baru untuk mengenal kultur akademik. Pasca transformasi kelembagaan dari IAIN menjadi UIN, praktis PBAK 2025 merupakan yang perdana. Hal ini bukan saja menjadi sejarah, namun juga menentukan arah pembentukan tradisi intelektual mahasiswa. PBAK tidak dilaksanakan sebagai rutinitas tahunan yang bersifat seremonial, lebih dari itu dihidupkan sebagai ruang pembelajaran substantif yang kali ini mengusung tiga gagasan besar yakni internasionalisasi, literasi dan ekoteologi.
Gagasan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan cerminan dari arah gerak strategis kampus. Internasionalisasi menunjukkan cetak biru UIN Syekh Wasil untuk berkiprah lebih luas di panggung global tanpa tercerabut dari akar lokalitasnya. Literasi menandai kesadaran di era disrupsi, mahasiswa menjadi lebih kuat dengan menjadi intelektual organik yang produktif. Sementara ekoteologi lahir dari kegelisahan terhadap krisis lingkungan sekaligus kesadaran teologis bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah.
Melalui ketiganya, PBAK UIN Syekh Wasil hendak menghadirkan wajah baru tradisi penyambutan mahasiswa di pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Progresif, kosmopolit namun tetap bertumpu pada nilai spiritual.
Berakar Lokal Menjangkau Global
Internasionalisasi bukan sekadar jargon modernisasi kampus, melainkan strategi untuk memastikan perguruan tinggi Islam relevan dengan percakapan global. UIN Syekh Wasil menjadikan PBAK sebagai etalase arah kebijakan akademik dengan membuka diri dan terlibat langsung pada dunia internasional.
Fakta tahun ini UIN Syekh Wasil menerima mahasiswa baru dari tiga wilayah di dunia, Asia Tenggara, Afrika dan Timur Tengah menjadi bukti konkret visi internasionalisasi bukan kilasan mimpi. Mahasiswa yang datang dari latar budaya dan bangsa berbeda menunjukkan UIN Syekh Wasil semakin dipercaya sebagai ruang belajar representatif.
Kehadiran mahasiswa internasional membawa dua implikasi penting. Pertama, secara internal, mahasiswa lokal mendapat pengalaman lintas budaya yang memperkaya proses belajar. Diskusi di kelas, organisasi kemahasiswaan, hingga interaksi sehari-hari akan menjadi ajang pertukaran gagasan yang melampaui batas negara. Kedua, secara eksternal, reputasi UIN Syekh Wasil meningkat di mata dunia sebagai universitas Islam yang mampu menawarkan kekhasan sebagaimana tercermin dalam visi kampus bertumpu pada keilmuan, keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks ini internasionalisasi dimaknai sebagai dialektika antara lokalitas dan perkembangan global. Berakar kuat dari bumi Panjalu dan menjangkau dunia pada saat bersamaan.
Menjadi Intelektual Organik
Jika internasionalisasi adalah sayap untuk terbang, maka literasi dimaknai sebagai pondasi untuk berpijak. Dalam sejarah peradaban Islam, kejayaan selalu ditandai dengan ghirah literasi. Dari lahirnya Bayt al-Hikmah di Baghdad hingga tradisi pesantren dengan kitab kuning yang mendalam. Sebaliknya, kemunduran selalu beriringan dengan matinya tradisi membaca, menulis dan berdialektika.
Ketika informasi berlimpah dan hoaks menjamur di belantara media sosial, literasi tidak cukup diartikan sekadar aktivitas membaca teks, melainkan kemampuan untuk memaknai lebih dalam. Literasi secara sederhana mencakup kemampuan memahami, mengkritisi dan menghasilkan pengetahuan. Dengan meminjam istilah Antonio Gramsci, PBAK UIN Syekh Wasil berupaya mengarahkan mahasiswa baru untuk menjadi intelektual organik. Mereka tidak hanya hidup di menara gading akademik, tetapi membumi di tengah masyarakat kemudian mengartikulasikan pengetahuan untuk kepentingan publik.
Penyerahan buku karya dosen pada mahasiswa baru tampak sederhana namun sarat makna. Pertama, prosesi ini menjadi simbol yang menunjukkan kampus menghargai karya ilmiah dan menempatkannya di jantung kehidupan akademik. Kedua, menanamkan kesadaran sejak awal pada mahasiswa harus bersentuhan langsung dengan gagasan dan menjadikannya sebagai kompas penuntun. Ketiga, sebagai penanda arah kultur akademik di kampus ini adalah budaya membaca, menulis dan memproduksi ilmu.
Tradisi literasi menjadi benteng dalam menghadapi derasnya arus digitalisasi yang kerap menggeser budaya baca pada budaya instan. Bahaya laten dari fenomena ini tak banyak disadari. Melalui bekal literasi, mahasiswa didorong menjadi produsen gagasan.
Merawat Bumi sebagai Ibadah
Begitupula penyerahan bibit tanaman menunjukkan semiotika di tengah kondisi krisis lingkungan global mulai dari perubahan iklim, deforestasi hingga pencemaran, UIN Syekh Wasil hadir berkontribusi. Hal ini memberi penegasan problem ekologi tidak bisa hanya dilihat dari perspektif eksploitasi semata. Solusi membutuhkan pemahaman yang holistik mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi dan spiritual.
Kesadaran ini sejalan dengan seruan Kementerian Agama yang menekankan pentingnya menjaga dan merawat lingkungan. Dalam banyak kesempatan, Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA mengingatkan umat beragama memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan bumi. Sebab tanda-tanda krisis ekologi yang terjadi pada saat yang sama sebetulnya menunjukkan krisis iman dan etika.
Dalam tradisi Islam, pesan ini sejatinya telah lama ada. Al-Qur’an menegaskan manusia adalah khalifah fil ardh. Tugas khalifah bukan mengeksploitasi alam tanpa batas, melainkan menjaga keseimbangan, melindungi juga merawat ciptaan. Dengan paradigma ekoteologi, mahasiswa baru diajak memahami aktivisme lingkungan bukan sekadar agenda duniawi, tetapi ibadah yang melekat pada identitas spiritual seorang Muslim.
Dengan upaya menjadikan ekoteologi sebagai bagian dari PBAK, UIN Syekh Wasil hendak menanamkan kesadaran ekologis sejak dini. Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk cerdas secara intelektual, namun juga peka terhadap keberlanjutan bumi. Di era krisis iklim, kesadaran ini bukan lagi pilihan namun sebuah keniscayaan.
Tiga pesan utama mulai dari internasionalisasi, literasi hingga ekoteologi menjadikan PBAK UIN Syekh Wasil berbeda dari orientasi mahasiswa baru yang kerap jatuh pada sekadar rutinitas formal. PBAK 2025 sungguh-sungguh diposisikan sebagai ruang transformasi awal, tempat nilai-nilai akademik, intelektual dan spiritual yang disemai secara simultan. Orientasi mahasiswa dengan format seperti ini diharapkan menciptakan generasi baru yang mengenal kampusnya sekaligus memahami tantangan zaman.
Selamat datang Wasil Muda. Selamat bergabung, di sini jejak awal ditempa, tonggak sejarah dipancang.




